Jumhur (kebanyakan) ulama tidak memperbolehkan wanita safar tanpa disertai mahram. Dan itu pendapatnya para masyayikh dan asaatidz kita. Dalilnya diantaranya adalah:

لَا يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ باللَّهِ وَالْيَومِ الآخِرِ، أَنْ تُسَافِرَ سَفَرًا يَكونُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَصَاعِدًا، إلَّا وَمعهَا أَبُوهَا، أَوِ ابنُهَا، أَوْ زَوْجُهَا، أَوْ أَخُوهَا، أَوْ ذُو مَحْرَمٍ منها

“Seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak boleh melakukan safar selama 3 hari atau lebih, kecuali bersama ayahnya, atau anaknya, atau suaminya, atau saudara kandungnya, atau mahramnya” (HR. Muslim no. 1340).

Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

أَنْ لاَ تُسَافِرَ امْرَأَةٌ مَسِيرَةَ يَوْمَيْنِ لَيْسَ مَعَهَا زَوْجُهَا

“Seorang wanita tidak boleh bersafar selama 2 hari tanpa ditemani suaminya.” (HR. Al Bukhari no.1864, Muslim no. 827).

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

لَا يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ باللَّهِ وَالْيَومِ الآخِرِ، تُسَافِرُ مَسِيرَةَ يَومٍ وَلَيْلَةٍ إلَّا مع ذِي مَحْرَمٍ عَلَيْهَا

“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, bersafar yang jauhnya sejauh perjalanan sehari semalam, kecuali bersama mahramnya” (HR. Muslim no.1339).

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ وَلَا تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اكْتُتِبْتُ فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا وَخَرَجَتْ امْرَأَتِي حَاجَّةً قَالَ اذْهَبْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ

“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkholwat (berduaan) dengan seorang wanita dan janganlah sekali-kali seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya”. Lalu ada seorang laki-laki yang bangkit seraya berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah mendaftarkan diriku untuk mengikuti suatu peperangan sedangkan istriku pergi menunaikan hajji”. Maka Beliau bersabda: “Tunaikanlah hajji bersama istrimu.” (HR: Bukhori).


Namun dari pendapat ulama kebanyakan tadi, ada pendapat lain yang berbeda, yaitu terkait safar haji atau safar wajib umrah. Ada yang membolehkan safar haji tanpa mahram, ada yang tidak. Hambali dan Hanafi mentidakbolehkan sebagaimana dalil yang terakhir di atas, sementara Maliki dan Syafi’i membolehkannya. Mengapa?

Imam Malik menyatakan bahwa mahram bisa diganti dengan rombongan wanita yang bisa dipercaya selama perjalanan aman. Berkata Imam al Baji al-Maliki :

“Adapun yang disebut oleh sebagian ulama dari teman-teman kami, itu dalam keadaan sendiri dan jumlah yang sedikit. Adapun dalam keadaan jumlah rombongan sangat banyak, sedang jalan – yang dilewati – adalah jalan umum yang ramai dan aman, maka bagi saya keadaan tersebut seperti keadaan dalam kota yang banyak pasar-pasarnya dan para pedagang yang berjualan, maka seperti ini dianggap aman bagi wanita yang bepergian tanpa mahram dan tanpa teman wanita. “ (al-Muntaqa: 3/17) 


Kemudian ada hadits lain:

فَإِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ لَتَرَيَنَّ الظَّعِينَةَ تَرْتَحِلُ مِنْ الْحِيرَةِ حَتَّى تَطُوفَ بِالْكَعْبَةِ لَا تَخَافُ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ

“Seandainya kamu diberi umur panjang, kamu pasti akan melihat seorang wanita yang mengendarai kendaraan berjalan dari Al Hirah hingga melakukan thawaf di Ka’bah tanpa takut kepada siapapun kecuali kepada Allah.” (HR: Bukhari).

Hadits di atas berisi tentang pujian dan sanjungan pada suatu perbuatan yaitu seorang wanita yang safar haji, hal itu menunjukkan kebolehannya perbuatan tersebut. Sebaliknya hadist yang mengandung celaan kepada suatu perbuatan menunjukkan keharaman perbuatan tersebut. (Umdatu al-Qari: 16 /148).

Juga ada Atsar Ibnu Umar bahwa beliau memerdekakan beberapa budak perempuannya. Kemudian beliau berhaji dengan mereka. Setelah dimerdekakan, tentunya mereka bukan mahram lagi bagi Ibnu Umar. Berarti para wanita tersebut pergi haji tanpa mahram. (Disebutkan Ibnu Hazm dalam al-Muhalla) 

Kemudian juga ada atsar Aisyah radhiallahu’anha tatkala ada orang yang menyampaikan kepada beliau bahwa mahram adalah syarat wajib haji bagi wanita muslimah, lalu beliau berkata: “Apakah semua wanita memiliki mahram untuk pergi haji?!” (Riwayat Baihaqi).

Dan banyak lagi atsar yang lain diantaranya Abdurrahman bin Auf dan beberapa sahabat lainnya yang mengantarkan safar para istri nabi sepeninggal Rasulullah. Ini menunjukkan bahwa bolehnya wanita safar haji ketika ada keamanan seperti diantar oleh lelaki-lelaki shaleh atau rombongan wanita lainnya. 


Lalu dari perbedaan pendapat tentang hukum safar wanita tanpa haram untuk berhaji ini, maka kemudian permasalahannya meluas kepada safar secara umum, baik safar mubah maupun sunnah, bahwa hukumnya seperti safar haji, yaitu boleh ketika jelas ada ikhtiar keamanan dan keselamatan. Jadi menurut pendapat ini, inti dari keharaman itu adalah ketidakamanan wanita ketika melakukan safar. Apabila mereka terjamin keamanannya, maka hal tersebut menjadi boleh. 

Karena safar zaman dulu adalah dengan unta dan melalui gurun pasir dan cuaca yang dingin, maka jika seperti itu jelas kita yakin bahwa tidak ada yang berbeda pendapat tentang tidak bolehnya yang demikian itu, karena hal itu sangat berbahaya bagi perempuan ketika safar seorang diri.

Adapun jika aman, artinya ditemani oleh para lelaki atau wanita yang shaleh yang akan melindunginya, atau merasa terjamin keamanannya, maka hukumnya menjadi boleh. 


Wallahua'lam kalau ana sendiri mengikuti pendapat pertama (tidak boleh) jika memang tidak ada keperluan yang mendesak. Namun jika ada kebutuhan mendesak untuk safar, dan sulit mendapati mahram, kemudian merasa terjamin keamanannya karena ada teman-teman lain (baik para lelaki atau wanita yang shaleh) yang terjaga akhlak dan imannya, atau karena kondisinya dianggap aman, maka ana mengikuti pendapat yang kedua yang berbeda dari pendapatnya jumhur, masyayikh dan para asaatidz kita. 



Wallahua'lam.